Rangkuman Isi PP Nomor 6 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah


Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah sebagai aturan turunan dari UU Cipta Kerja dikeluarkan untuk memberikan kepastian hukum dalam berusaha dan meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha di daerah. Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah adalah kegiatan perizinan berusaha yang proses pengelolaannya secara elektronik mulai dari tahap permohonan sampai dengan terbitnya dokumen yang dilakukan secara terpadu dalam satu pintu.

Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah yang dilaksanakan secara terintegrasi melalui elektronik berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat diharapkan cepat, mudah, terintegrasi, transparan, efisien, efektif, dan akuntabel. PP 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah merupakan rangkaian kerja untuk mnegoptimalkan pelaksanaan ketentuan pasal 176 dan pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah ini mengatur mengenai: kewenangan Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah; pelaksanaan Perizinan Berusaha di Daerah; Perda dan Perkada mengenai Perizinan Berusaha; pelaporan Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah; pembinaan dan pengawasan; pendanaan; dan sanksi administratif.

Berdasarkan PP 6 Tahun 2021, Pelaku Usaha melakukan pendaftaran untuk kegiatan berusaha dengan menginput data melalui sistem OSS. Setelah itu, jika data yang telah dimasukkan sudah lengkap, maka OSS akan menerbitkan Nomor Induk Berusaha (NIB). Dalam PP ini, dijelaskan bahwa NIB adalah bukti registrasi Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya. Pelaku usaha yang dimaksud dalam PP ini terbagi menjadi dua, yaitu usaha industri dan usaha jasa. PP ini menyebutkan bahwa usaha yang dilakukan tersebut melalui tiga tahapan, yaitu persiapan, operasional, dan komersial.

Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah diadakan dalam rangka memperkuat peran dan komitmen Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan Perizinan Berbasis Risiko. Penguatan peran Pemerintah Daerah dalam Undang-Undang Cipta Kerja antara lain diaturnya kewajiban gubernur/bupati/walikota untuk memberikan pelayanan Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, pelayanan Perizinan Berusaha di daeraah Pemerintah Pusat, dan pemberian peluang bagi Pemerintah Daerah untuk mengembangkan sistem pendukung pelaksanaan Sistem OSS sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan Pemerintah Pusat.

Menurut PP ini, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) provinsi dan DPMPTSP kabupaten/kota dibentuk untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Urusan Pemerintahan di bidang penanaman modal, tidak merumpun atau dirumpunkan dengan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah lainnya, dengan tujuan untuk mengoptimalisasikan penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah. DPMPTSP di seluruh daerah diharapkan dapat menyelenggarakan manajemen Perizinan Berusaha secara cepat, mudah, terintegrasi, transparan, efisien, efektif, dan akuntabel sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang juga diharapkan dapat memberikan kepastian hukum, meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha serta menjaga keberlangsungan kinerja pelayanan Perizinan Berusaha di daerah sesuai dengan tujuan dan maksud diundangkanny Undang-Undang Cipta Kerja.

Related Posts:

Pengertian, Dasar Hukum dan Penerapan Asas Fiktif Positif dalam Kaitannya dengan UU Cipta Kerja (Omnibus Law)

 

Permohonan Fiktif Positif atau yang biasa disebut permohonan untuk memperoleh putusan atas penerimaan permohonan guna mendapatkan keputusan dan/atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada pengadilan dalam hal permohonan yang dianggap dikabulkan secara hukum apabila badan atau pejabat pemerintahan tidak menetapkan keputusan dan/atau melakukan tindakan. Permohonan untuk mendapatkan keputusan dan/atau tindakan dianggap dikabulkan secara hukum apabila permohonan tersebut tidak ditetapkan dan/atau tidak dilakukan dalam batas waktu kewajiban sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan atau dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.

Dasar hukum yang melandasi permohonan ini adalah: 1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1986; 2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan; 3) ahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan.

Dalam proses penerapannya, pihak yang terlibat di antaranya: 1) Pemohon, ialah pihak yang permohonannya dianggap dikabulkan secara hukum akibat tidak ditetapkannya keputusan dan/atau tidak dilakukannya tindakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dan karenanya mengajukan permohonan kepada Pengadilan yang berwenang untuk mendapatkan putusan atas penerimaan permohonan; 2) Termohon, ialah Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang mempunyai kewajiban untuk menetapkan keputusan dan/atau melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam permohonan Pemohon. Contoh kasus yang dapat menggambarkan penerapan ketentuan tersebut ialah ketika ada warga negara yang meminta kepada gubernur agar sebuah Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang merusak alam dicabut karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan sektor kehutanan. Atau adanya warga negara yang ingin mengajukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk kegiatan usaha atau rumah tinggal. Selain itu, penerapan Asas Fiktif Positif dalam Sistem OSS-RBA diberlakukan dengan kondisi ketika pelaku usaha menyampaikan permohonan pemenuhan persyaratan kepada K/L/D yang terkait dengan: 1) Sertifikat Standar (untuk kegiatan risiko menengah tinggi); 2) Izin (untuk kegiatan risiko tinggi); 3) Kesesuaian Pemanfaatan Ruang di Daratan/Laut; dan/atau Penggunaan Kawasan Hutan.

Ketentuan Fiktif Positif mengalami perubahan sebagai dampak perubahan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) beserta peraturan pelaksanaannya yang terkait dengan administrasi pemerintahan. Perubahan ini dianggap dapat menghilangkan peran Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai pemberi kekuatan hukum atas keputusan tersebut dan menyerahkan kepada pejabat pemerintah untuk mengeksekusinya sendiri. Dalam ketentuan baru, UU Cipta Kerja mempersingkat masa tunggu dari 10 hari menjadi 5 hari sebelum pejabat dianggap menyetujui suatu permohonan. Perubahan signifikan juga terjadi ditandai dengan dihilangkannya Pasal 53 ayat (4), (5) dan (6) yang mengatur kewenangan Pengadilan TUN untuk memberi putusan penerimaan permohonan atas permohonan yang tidak ditanggapi.

Related Posts:

DOWNLOAD PERATURAN BKPM NOMOR 4 TAHUN 2021 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO DAN FASILITAS PENANAMAN MODAL




DOWNLOAD PERATURAN BKPM NOMOR 4 TAHUN 2021 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO DAN FASILITAS PENANAMAN MODAL

Peraturan BKPM No. 4 Tahun 2021 tentang Pedoman dan Tata Cara Pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Fasilitas Penanaman Modal adalah peraturan turunan dari UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja 

bahwa untuk memberikan kepastian hukum dalam proses penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 huruf a dan huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, perlu menetapkan Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal tentang Pedoman dan Tata Cara Pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Fasilitas Penanaman Modal;

Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Berbasis Risiko adalah sistem perizinan berusaha yang terintegrasi dalam jaringan dengan melakukan pemilahan bidang-bidang usaha berdasarkan risiko tertentu, NSPK yang terstandardisasi, dan pelaksanaan pengawasan yang optimal dan lebih terstruktur, baik dari periode maupun substansi yang harus diawasi.

Peraturan BKPM No. 4 Tahun 2021 tentang Pedoman dan Tata Cara Pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Fasilitas Penanaman Modal, di sini dapat di DOWNLOAD sedangkan untuk lampirannya dapat di download di LAMPIRAN 

DOWNLOAD PERATURAN BKPM NOMOR 4 TAHUN 2021 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO DAN FASILITAS PENANAMAN MODAL

Related Posts:

Rangkuman Penjelasan PP 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko

 

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko


Peraturan Pemerintah RI Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko merupakan peraturan yang dibuat sesuai dengan pelaksanaan ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko meliputi: pengaturan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; norma, standar, prosedur, dan keriteria Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; Perizinan Berusaha Berbasis Risiko melalui layanan Sistem OSS; tata cara Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; evaluasi dan reformasi kebijakan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; pendanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; penyelesaian permsalahan dan hambatan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; dan sanksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 2.

Dalam PP ini, dijelaskan bahwa Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Risiko adalah potensi terjadinya cedera atau kerugian dari suatu bahaya atau kombinasi kemungkinan dan akibat bahaya. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko adalah Perizinan Berusaha berdasarkan tingkat Risiko kegiatan usaha. Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk menunjang kegiatan usaha. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu. Nomor Induk Berusaha (NIB) adalah bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya.

Sesuai yang tertuang dalam Pasal 3, Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko bertujuan untuk meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha melalui penerbitan Perizinan Berusaha secara lebih efektif dan sederhana. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko juga bertujuan untuk mengawasi kegiatan usaha yang transparan, terstruktur, dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, dalam Pasal 4 juga dijelaskan bahwa untuk memulai dan melakukan kegiatan usaha, Pelaku Usaha wajib memenuhi persyaratan dasar Perizinan Berusaha dan/atau Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

Dalam Pasal 5, disebutkan persyaratan dasar Perizinan Berusaha meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, persetujuan bangunan Gedung, dan sertifikasi laik fungsi. Ketentuan mengenai persyaratan dasar Perizinan Berusaha tersebut masing-masing diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang, lingkungan hidup, dan bangunan gedung. Kebijakan penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia selaku Pemerintah Pusat yang berwenang memegang pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam UUD Tahun 1945. Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko meliputi sektor: kelautan dan perikanan; pertanian; lingkungan hidup dan kehutanan; energi dan sumber daya mineral; ketenaganukliran; perindustrian; perdagangan; pekerjaan umum dan perumahan rakyat; transportasi; Kesehatan, obat, dan makanan; pendidikan dan kebudayaan; pariwisata; keagamaan; pos, telekomunikasi, penyiaran, dan sistem dan transaksi elektronik; pertahanan dan keamanan; dan ketenagakerjaan. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko pada masing-masing sektor tersebut meliputi pengaturan: kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha; persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; pedoman Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; dan standar kegiatan usaha dan/atau standar produk.

Dalam Pasal 7, dinyatakan bahwa Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dilakukan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala kegiatan usaha meliputi Usaha Mikro Kecil dan Menengah dan/atau usaha besar. Penetapan tingkat risiko tersebut dilakukan berdasarkan hasil analisis yang wajib dilakukan secara transparan, akuntabel, dan mengedepankan prinsip kehatihatian berdasarkan data dan/atau penilaian professional. Nantinya, tingkat risiko dari hasil analisis tersebut menentukan jenis Perizinan Berusaha.

Pemerintah Pusat melakukan analisis risiko melalui pengidentifikasian kegiatan usaha; penilaian tingkat bahaya; penilaian potensi terjadinya bahaya; penetapan tingkat risiko dan skala usaha; dan penetapan jenis perizinan berusaha. Penilaian tingkat bahaya tersebut dilakukan terhadap aspek kesehatan; keselamatan; lingkungan; dan/atau pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya. Adapun penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha diperoleh berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya. Berdasarkan penilaian tingkat bahaya, penilaian potensi terjadinya bahaya, tingkat risiko, dan peringkat skala usaha kegiatan usaha, kegiatan usaha diklasifikasikan menjadi kegiatan usaha dengan tingkat risiko rendah; kegiatan usaha dengan tingkat risiko menengah; dan kegiatan usaha dengan tingkat risiko tinggi. Kegiatan usaha dengan tingkat risiko menengah terbagi menjadi dua, yaitu menengah rendah dan menengah tinggi.

Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha dengan tingkat risiko rendah berupa Nomor Induk Berusaha (NIB). Kemudian, NIB untuk kegiatan usaha dengan tingkat risiko rendah yang dilakukan oleh UMK juga berlaku sebagai Standar Nasional Indonesia (SNI) dan pernyataan jaminan halal. Sementara itu, Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha dengan tingkat risiko menengah rendah berupa NIB dan Sertifikat Standar, yaitu legalitas untuk melaksanakan kegiatan usaha dalam bentuk pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha yang diberikan melalui Sistem OSS. Selain itu, kegiatan usaha dengan tingkat menengah tinggi memiliki Perizinan Berusaha yang serupa, yaitu NIB dan Sertifikat Standar. Yang membedakan ialah, Sertifikat Standar izin usaha menengah tinggi merupakan pelaksanaan kegiatan usaha yang diterbitkan pemerintah pusat atau daerah sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha. Sementara itu, Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha dengan tingkat risiko tinggi berupa NIB dan Izin, yaitu persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.

PP Nomor 5 Tahun 2021 juga menetapkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) untuk mengimplementasikan konsep perizinan berbasis risiko atau Risk Base Approach (RBA). Maka dari itu, setiap bidang usaha yang akan dijalankan tidak perlu mengajukan berbagai macam perizinan. Selain NSPK untuk masing-masing sektor usaha, PP ini juga mengatur tentang norma pelayanan perizinan berusaha melalu Sistem OSS yang diprakasai oleh BKPM. Dengan implementasi pada Sistem OSS ini, usaha dengan risiko tingkat rendah dan usaha dengan risiko tingkat menengah rendah akan dapat selesai di OSS di mana kedua jenis kegiatan usaha tersebut dapat dilakukan pembinaan serta pengawasan. Sementara itu, untuk usaha dengan risiko tingkat menengah tinggi dan usaha dengan risiko tingkat tinggi dapat dilakukan penyelesaian NIB di OSS serta dilakukan verifikasi syarat/standar oleh K/L/PD dan dilaksanakan pengawasan terhadapnya.

Related Posts: