Pengertian, Dasar Hukum dan Penerapan Asas Fiktif Positif dalam Kaitannya dengan UU Cipta Kerja (Omnibus Law)

 

Permohonan Fiktif Positif atau yang biasa disebut permohonan untuk memperoleh putusan atas penerimaan permohonan guna mendapatkan keputusan dan/atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada pengadilan dalam hal permohonan yang dianggap dikabulkan secara hukum apabila badan atau pejabat pemerintahan tidak menetapkan keputusan dan/atau melakukan tindakan. Permohonan untuk mendapatkan keputusan dan/atau tindakan dianggap dikabulkan secara hukum apabila permohonan tersebut tidak ditetapkan dan/atau tidak dilakukan dalam batas waktu kewajiban sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan atau dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.

Dasar hukum yang melandasi permohonan ini adalah: 1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1986; 2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan; 3) ahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan.

Dalam proses penerapannya, pihak yang terlibat di antaranya: 1) Pemohon, ialah pihak yang permohonannya dianggap dikabulkan secara hukum akibat tidak ditetapkannya keputusan dan/atau tidak dilakukannya tindakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dan karenanya mengajukan permohonan kepada Pengadilan yang berwenang untuk mendapatkan putusan atas penerimaan permohonan; 2) Termohon, ialah Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang mempunyai kewajiban untuk menetapkan keputusan dan/atau melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam permohonan Pemohon. Contoh kasus yang dapat menggambarkan penerapan ketentuan tersebut ialah ketika ada warga negara yang meminta kepada gubernur agar sebuah Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang merusak alam dicabut karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan sektor kehutanan. Atau adanya warga negara yang ingin mengajukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk kegiatan usaha atau rumah tinggal. Selain itu, penerapan Asas Fiktif Positif dalam Sistem OSS-RBA diberlakukan dengan kondisi ketika pelaku usaha menyampaikan permohonan pemenuhan persyaratan kepada K/L/D yang terkait dengan: 1) Sertifikat Standar (untuk kegiatan risiko menengah tinggi); 2) Izin (untuk kegiatan risiko tinggi); 3) Kesesuaian Pemanfaatan Ruang di Daratan/Laut; dan/atau Penggunaan Kawasan Hutan.

Ketentuan Fiktif Positif mengalami perubahan sebagai dampak perubahan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) beserta peraturan pelaksanaannya yang terkait dengan administrasi pemerintahan. Perubahan ini dianggap dapat menghilangkan peran Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai pemberi kekuatan hukum atas keputusan tersebut dan menyerahkan kepada pejabat pemerintah untuk mengeksekusinya sendiri. Dalam ketentuan baru, UU Cipta Kerja mempersingkat masa tunggu dari 10 hari menjadi 5 hari sebelum pejabat dianggap menyetujui suatu permohonan. Perubahan signifikan juga terjadi ditandai dengan dihilangkannya Pasal 53 ayat (4), (5) dan (6) yang mengatur kewenangan Pengadilan TUN untuk memberi putusan penerimaan permohonan atas permohonan yang tidak ditanggapi.

Related Posts:

0 Response to "Pengertian, Dasar Hukum dan Penerapan Asas Fiktif Positif dalam Kaitannya dengan UU Cipta Kerja (Omnibus Law)"

Posting Komentar